Penyelamatan KM Zahro Tidak Maksimal
Menyusul inseden terbakarnya kapal motor (KM) Zahro Expres di perairan Muara Angke, penyelamatan atas kapal tersebut dinilai tidak maksimal. Ironis, kapal yang terbakar tidak jauh dari pelabuhan itu, justru diselamatkan para nelayan, bukan Bakamla, Basarnas, atau Polair.
Anggota Komisi VI DPR RI Bambang Haryo Soekartono dalam rilisnya yang diterima Parlementaria, Selasa (3/1), menyoroti insiden tersebut. Pertolongan internal dan eksternalnya tidak berjalan efektif. Padahal, jaraknya hanya 1,8 km dari pelabuhan.
“Kemarin dilakukan pertolongan 20 menit setelah kejadian. Yang melakukan pertolongan adalah nelayan. Padahal, kapal mengalami kecelakaan hanya 1, 8 kilometer atau 1 mil dari jarak pelabuhan yang sebenarnya sangat dekat,” kata Bambang yang juga anggota Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI).
Bambang mencontohkan, di Filipina bila terjadi kecelakaan serupa, petugas sudah berada di lokasi kejadian lima menit setelah insiden. Basarnas, Bakamla, dan Polisi Perairan (Polair) dinilai lambat memberikan pertolongan hingga kapal ludes terbakar dan menelan banyak korban jiwa.
“Basarnas tidak bergerak waktu awal. Sampai 20 menit setelah kejadian, justru ada nelayan. Bakamla tidak bergerak. Bergeraknya lambat. Yang sedikit tanggap adalah Polair, tapi kurang cepat. Polair justru lebih ke arah mencari penyebab terbakarnya kapal. Ini tidak boleh dilakukan Polair, karena di Kemenhub ada Penyidik Pegawai Negeri Sipil,” terangnya.
Seharusnya, lanjut Anggota F-Gerindra DPR ini, kru atau ABK kapal membimbing penumpang agar melakukan penyelamatan dengan memberi alat keselamatan. Harus ada pengarahan yang memadai kepada para penumpang dalam menghadapi situasi darurat tersebut.
“Harus ada pengarahan dari nahkoda dan kru untuk penumpang. Harus meninggalkan kapal, sambil diyakinkan agar menggunakan alat keselamatan. Di kapal harus ada life craft. Jadi, kalau di laut bisa mengembang seperti perahu karet,” tandasnya. (mh) foto: runi/mr.